Kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance)



Pemandangan yang tak lazim terlihat saat ini di  Kantor Pelayanan  Pajak  (KPP) maupun di  Kantor Pelayanan,  Penyuluhan dan  Konsultasi  Perpajakan  (KP2KP)  adalah banyaknya kendaraan roda 4 maupun  roda 2 yang memenuhi peralatan parkir, hal ini selain adanya wajib pajak yang rutin melaporkan SPT Masa PPN, juga ditambah dengan mulai melaporkannya Wajib Pajak (WP) atas laporan PPh pasal 21  dan juga   mulai ada  Wajib Pajak  Orang Pribadi yang melaporkan SPT tahunannya walau  batas akhir laporan SPT tahunan  Pajak penghasilan  WP OP adalah pada tanggal 31  Maret .

Bulan Januari – April merupakan bulan dimana kesibukan aparat pajak terfokus pada pelayanan penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan  baik WP Orang Pribadi maupun Badan.  Merujuk data tahun 2011 jumlah WP wajib lapor Surat  Pemberitahuan  (SPT)   +  17 juta WP,  dengan  jumlah Wajib Badan  +  1,59 juta Wajib Pajak  dengan  sebaran  +  20,37 % ada di wilayah Sumatra , +  57,54% ada di wilayah  Jawa,  dan  +  22,25%  tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku Utara, Maluku dan Papua.  Sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi  +  16 juta WP dengan sebaran  +  20,07 % ada di wilayah Sumatra , +  62, 18% ada di wilayah  Jawa,  dan +  17,74%  tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku Utara, Maluku dan Papua.  Dengan kata lain hampir lebih dari  +  75%  sebaran Wajib pajak ada di Indonesia bagian barat, dan + 30%  tersebar di wilayah Indonesia  bagian tengah dan Indonesia bagian timur.

Berdasarkan data dari Ditjen Pajak sebagaimana dikutip dari metrotvnews.com (30-10-2014),  bahwa Tahun  2013 jumlah Wajib Pajak terdaftar sebanyak + 25,85 juta WP. Di mana WP Badan sebanyak + 2,2 juta WP dan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah + 23juta WP, dengan kata lain selama 3 tahun  terdapat penambahan jumlah Wajib Pajak sebesar   + 47% dari tahun 2011. Apakah peningkatan jumlah Wajib pajak diikuti dengan tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance)

Mengutip Republika.co.id (9-9-2014) menurut Dirjen Pajak  Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menyatakan tingkat kepatuhan wajib pajak di tanah air hingga saat ini masih sangat minim. Masih menurut Fuad  Rahmany pihaknya tidak memungkiri bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak di Tanah Air masih sangat minim. Berdasar data Kemenkeu, dari total 12 juta wajib pajak badan (non-perorangan) hanya 5 juta yang sudah menghasilkan laba usaha. Dari jumlah tersebut,  hanya 550 ribu atau 11 persen yang rutin melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan.  Dan  mengutip kemenkeu.go.id (28/11/2014) Seperti diketahui, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia, baik perseorangan maupun badan masih relatif rendah. “Di Direktorat Jenderal Pajak itu pernah ada survei soal compliance, nggak ada yang 80 persen, semua di bawah, mau PPh (Pajak Penghasilan) perorangan, PPh badan, mau PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” ungkap Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro.

Kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance) menurut  Norman D. Nowak memiliki pengertian yaitu: “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: (1) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2)  Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas , (3)  Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar , dan (4)  Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”  Sedang menurut Erard dan Feinstein  pengertian kepatuhan wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.   Menurut  Safri  Nurmanto  bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai sutau keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Tolok ukur  kepatuhan  dengan memperhatikan pendapat para ahli akan cukup rumit karena indikatornya  relatif banyak,  bila hanya diambil dari  penyampaian kewajiban  Surat Pemberitahuan  juga sangatlahs ederhana, namun  saat ini indikator kepatuhan  wajib pajak (tax compliance) masih  menggunakan indikator penyampaian Surat Pemberitahuan. Dan mencapai Kepatuhan wajib pajak (tax compliance) diatas 80%  sebenarnya bukan hal yang mustahil  karena pajak adalah bersifat memaksa  dan  tata caranya telah diatur dalam UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana  telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 mengenai Ketentuan umum Perpajakan (UU KUP). 

Sebagaimana  kita diketahui bahwa sesuai UU KUP  Pasal 3 ayat  (1) menyebutkan antara lain bahwa Wajib Pajak wajib mengisi  Surat Pemberitahuan  dengan benar, lengkap dan jelas. Dan sesuai ayat (3) bahwa batas waktu penyampaain Surat Pemberitahuan adalah 20 hari  setelah amsa pajak, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak untuk  Surat  Pemberitahuan Tahunan  Wajib Pajak Orang pribadi (WP OP) atau 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak untuk Wajib pajak Badan (WP Badan). Maka bila mengacu pada UU KUP tersebut bulan Januari – Maret saatnya Wajib Pajak orang Pribadi melaporkan Pajaknya dan untuk WP Badan sampai dengan bulan April. Maka tak ayal pada bulan-bulan tersebut  semua  Kantor Pelayanan Pajak termasuk Kantor KP2KP akan selalu dipenuhi oleh Wajib Pajak baik untuk   konsultasi  maupun  melaporkan pajaknya. Dan Saat-saat itulah sebagian besar aparat pajak berkonsentrai  dan memfokuskan diri  pada pelayanan penerimaan Surat pemberitahuan baik pelayanan melalui drob box maupun yang ada di tempat pelayanan (TPT), termasuk pula menjamin koneksitas dan kelayakan jaringan untuk penerimaan Surat Pemberitahun (SPT)  melalui e-SPT. 

Kejadian yang terus berulang adalah  pelayanan yang  over kapasitas saat menjelang akhir bulan maret karena pada umumnya Wajib  Pajak   kecenderungan melaporkan pajaknya mendekati akhir bulan. Tak pelak lagi  pada akhir bulan tersebut, aparat pajak membuka loket pelayanan melebihi jam kerja bahkan dihari liburpun loket pelayanan tetap buka. Dan secara bersamaan di  bulan-bulan tersebut Ditjen Pajak gencar mensosialisasikan  pelaporan/penyampaian SPT, bahkan  Presiden, Wakil Presiden, Para Menteri dan beberapa pimpinan daerah termasuk tokoh-tokoh  nasional  selalu diliput media massa saat  menyampaikan Surat Pemberitahuannya.  Bisa dikatakan bahwa,  bulan Januari – April merupakan hajatan nasional  untuk kepatuhan  pelaporan pajak.

Surat Pemberitahuan  (SPT) mempunyai arti penting baik bagi Wajib pajak karena  dengan  menyampaikan SPT  maka WP telah melaporkan dan  mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban perpajakannya  baik yang dihitung sediri maupun yang dipungut/dipotong pihak lain. Dan untuk  Wajib Pajak Orang Pribadi  juga berarti melaporkan Harta dan kewajiban pada pihak ke III. Dan pada intinya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan maka telah melakukan kewajiban yang diamanatkan Undang-undang , karena sesuai UU KUP Pasal  7 ayat (1) bila surat pemberitahuan tidak disampaikan sesuai jangka waktu pelaporan maka dikenai sanksi  berupa denda sebesar Rp. 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN, denda Rp. 1.000.000 untuk  Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan,  dan Rp. 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. 
Bahkan bila menelisik lebih dalam, sesuai UU KUP  Pasal 13A , bila Wajib Pajak yang karena kealpaannya  tidak menyampaikan  Surat Pemberitahuan  atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian negara  tidak dikenai sanksi  pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan dan Wajib pajak tersebut  wajib melunasi sanksi administrasi  berupa kenaikan sebesar 200%  dari  jumlah pajak kurang bayar yang diterbitkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan bisa dikenai sanksi pidana  paling lama 1 (satu) tahun  sebagaimana UU KUP Pasal 38 dalam pasal ini sanksi pidana diharapkan tumbuh kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi  kewajiabn perpajakan. Bahkan  bisa dikenai sanksi pidana paling lama 6 (enam) tahun  sesuai Pasal. 39 UU KUP apabila dilakukan dengan sengaja dan mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.

by must itjand

Referensi :
1.       www.republika.co.id
2.       ekonomi.metrotvnews.com
3.       www.kemenkeu.go.id
4.       www.bambanghariyanto.com

Komentar

Postingan Populer