MELAPOR SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK (SPT) ITU MUDAH



Awal tahun ini , Pebruari-April siklus tahunan  hajatan besar bangsa Indonesia yaitu warga negara yang telah ber NPWP wajib melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi selambat-lambatnya tanggal 31 Maret dan Wajib Pajak Badan adalah 30 April. Di bulan Maret fenomena tahunan kembali terjadi yaitu banyak Wajib Pajak yang mengantri untuk melaporkan SPTnya , mereka berjubel mendatangi Kantor-Kantor Pelayanan Pajak, dan saat itu pula Kantor Pajak sibuk dalam memberikan pelayanan termasuk dalam mengatur antrian, menejemen penerimaan  SPT dan membuka meja-meja konsultasi, bahkan layanan penerimaan SPT pun dilakukan melebihi jam kerja termasuk hari libur  sabtu-minggu. Dapat dibayangkan bagaimana kesibukan Kantor Pajak di bulan Maret karena hampir bersamaan  menerima laporan SPT Tahunan dari + 20 juta Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).  

Fenomena tahunan  ini sebenarnya telah  diantisipasi dari tahun ke tahun, berbagai layanan penerimaan SPT diterapkan sesuai ketentuan yang ada seperti WP langsung ke KPP/KP2KP, atau ke   tempat lain yang ditentukan yaitu dengan diadakannya Drop Box, Pojok Pajak, dan Mobil Pajak Keliling, WP pun sebenarnya bisa dengan melaporkan melalui pos atau dengan cara lain  melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, selain itu dengan berkembangan teknologi informasi,  penyampaian SPT  dapat melalui internet yang dikenal dengan  e-Filing  baik melalui penyedia jasa aplikasi atau ASP (Application Service Provider) dan juga menggunakan  aplikasi pada situs DJP (www.pajak.go.id) berupa aplikasi e-Filing (efiling.pajak.go.id). Khusus Wajib Pajak Badan untuk tahun 2015 ini sudah wajib melaporkan dengan e-SPT.

Penyampaian SPT melalui internet dengan aplikasi e-filing akan sangat membantu Wajib Pajak,  selain dapat melaporkan kapan saja (24 jam) , menghemat kertas dan tidak perlu ke Kantor  Pajak (KPP dan KP2KP)  atau tempat lain yang ditunjuk (Drop box dll), dan yang pasti hemat waktu karena tidak perlu mengantri.  Saat ini e-filing melalui website DJP masih terbatas pada  penerimaan SPT WP OP yang melaporkan dengan  formulir  1770S (WP yang mempunyai penghasilan dari satu atau lebih pemberi  kerja dan atau yang dikenakan pajak penghasilan final/bersifat final), atau dengan formulir 1770SS (WP yang memperoleh pengahasilan dari satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp. 60.000.000,-).

Dalam melaporkan SPT melalui e-filing, didahului dengan Wajib Pajak  harus mengajukan permohonan  nomor e-Fin (electronic filing identification number)  ke KPP terdekat atau melalui www.pajak.go.id , dan bila telah divalidasi Wajib Pajak akan memperoleh sertifikat (digital certificate) dari Ditjen Pajak. Dengan e-filing sangat memudahkan Wajib Pajak untuk  menyampaikan laporan SPT tahunannya, secara umum perbedaanya adalah Wajib pajak tidak perlu  mengambil  formulir SPT di KPP atau KP2KP bahkan tidak perlu mendonwload  formulir , cukup buka apliaksi e-Filling di www.pajak.go.id,  penghitungan pajak terutang  sudah otomatis  dan waktu pelaporan tidak  dibatasi  jam kerja tetapi on-line 24 jam, dan tidak  memerlukan biaya transport. Dalam e-Filing arsip data langsung terekam/tersimpan  pada data base KPDJP, bila WP telah  melaporkan SPT melalui e-filing maka untuk pelaporan selanjutnya tidak perlu mengentry ulang data-data yang pernah  dilaporkan seperti daftar harta, daftar keluarga, dll , namun  bila ada perubahan maka  tinggal diedit.  

Semua pelayanan penerimaan pelaporan SPT yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  masih belum mampu mendorong peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara signifikan,  sampai  tahun 2014 rasio tingkat kepatuhan WP masih dibawah 75%. Bahkan Wajib Pajak yang  menyampaikan  dengan e-filing  juga sangat rendah, sebagaimana mengutip  pada  www.hukumonline.com,  Direktur Teknologi Informasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan, fasilitas e-filling sudah diperkenalkan kepada WP sejak 2004. Saat itu, DJP masih menggunakan penyedia jasa aplikasi atau Application Service Provider. Tepat tahun lalu, 2012, DJP juga memberikan kesempatan kepada WP Pribadi untuk mengisi e-filling melalui website DJP milik sendiri. Sayangnya, kendati fasilitas tersebut bertujuan untuk mempermudah WP melaporkan kewajibannya kepada DJP, perkembangan penggunaan e-filling hanya sebanyak 319.000 SPT. Sementara jumlah WP pribadi mencapai 20 juta jiwa. "Yang sudah menggunakan e-filling masih minim," kata Iwan saat ngobral santai di DJP Pusat Jakarta, Jumat (6/12/2014). Ia mencontohkan Afrika Selatan yang menggunakan fasilitas e-filling sebagai sistem pelaporan SPT WP. Persentase pembayaran pajak di Afrika Selatan sudah mencapai 99 %. Padahal, angka penetrasi penggunaan internet sebagai sarana e-filling lebih besar di Indonesia. Penetrasi penggunaan internet di Afrika Selatan hanya sebesar 17 %, sedangkan Indonesia 22 %.

Rendahnya pelaporan/penyampaian Surat Pemberitahuan  (SPT) tidak hanya dipengaruhi bagaimana layanan penerimaan SPT oleh Direktorat Jenderal Pajak, namun juga  dipengaruhi dari berbagai aspek, pertama, apakah informasi dan edukasi hak dan kewajiban perpajakan sudah dipahami dan diketahui oleh para Wajip Pajak, seperti kewajiban melapor dan mengisi SPT dengan benar dan tepat waktu,  karena bila terlambat atau tidak melapor atau isinya tidak benar dapat dikenai sangsi denda bahkan bisa dikenai sanksi pidana. Termasuk dalam hal ini apakah penerapan ketentuan perpajakan telah dilaksanakan secara  konsisten baik dalam penerapan sangsi atau law enforcement yang berkeadilan, sehingga akan menimbulkan efek jera apabila terdapat kecurangan dalam hal perpajakan baik bagi wajib  pajak maupun bagi aparat pajak, karena secara teori tidak ada masyarakat yang suka membayar pajak;

Kedua, kemudahan layanan  penerimaan SPT oleh Direktorat Jenderal Pajak, bila menelisik layanan penerimaan SPT saat ini sudah cukup banyak  yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak, bahkan dengan struktur organisasi DJP saat ini, di mana Kantor Pajak telah ada petugas  Account Representative yang salah satu tugasnya  adalah memberi layanan  konsultasi  bagi Wajib Pajak atas segala hak dan kewajiban perpajakannya. Namun dalam hal ini apakah  informasi layanan tersebut   telah dipahami oleh para Wajib Pajak ? mengingat seringkali  informasi  perpajakan banyak terdistorsi oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu seperti adanya oknum-oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan Wajib Pajak untuk kepentingan pribadinya. Dengan keterbatasan informasi layanan perpajakan  yang diterima Wajib  Pajak dapat menimbulkan keengganan atau ketidak pedulian dalam kewajiban pelaporan SPT, bahkan mendorong maraknya jasa penghindaran atau penggelapan  pajak atau tax evasion.

Khusus untuk Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja  seperti karyawan , penerima pensiun,  PNS, TNI,  POLRI dan Pejabat Negara,   maka peran bendaharawan dan pemberi kerja  juga sangat menentukan dalam kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh  WP OP, karena  bendaharawan atau pemberi kerja berkewajiban memberi bukti potong pajak penghasilan  PPh Pasal 21  (formulir 1721 A1 untuk karyawan/pegawai swasta/penerima pensiun/tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala,  dan formulir 1721 A2 untuk PNS, TNI,  POLRI, Pejabat Negara termasuk pensiunannya) sebagai bukti  telah membayar pajak dari penghasilan yang diterimanya, dan formulir tersebut harus dilampirkan Wajib Pajak saat melaporkan SPTnya.

Ketiga, adalah informasi manfaat  dan fungsi pajak, termasuk pentingnya pajak untuk kelangsungan pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan negara. Sebagaimana diketahui  fungsi pajak selain sebagai pengatur atau instrumen untuk tujuan tertentu bagi kepentingan negara, juga berfungsi sebagai redistribusi pendapatan, dan juga berfungsi sebagai  sumber pembiayaan negara (budgetair). Fungsi budgetair inilah yang paling penting dipahami oleh masyarakat. Informasi ini sangat perlu diketahui masyarakat guna  meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pajak bagi kelangsungan pembangunan berbangsa dan bernegara. Bahwa pembiayaan pembangunan seperti pembangunan insfrastruktur, kemanan dan ketertiban , bantuan sosial , subsidi dll adalah sebagian besar dibiaya dari penerimaan negara dari sektor pajak. 

Keempat, adalah penyelengara negara yang  amanah menjaga kepercayaan masyarakat dalam menjalankan  roda pemerintahan dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Terciptanya good goverment  yang didukung oleh semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat.  Dengan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara secara langsung akan mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Dan yang kelima adalah  budaya dan sikap moral masyarakat, sikap moral masyarakat bisa tercermin dari perilaku wajib pajak dan aparat pajak, termasuk persepsi masyakarat terhadap perpajakan itu sendiri. Untuk itulah  menciptakan budaya tertib hukum dan zero toleren terhadap KKN  akan mendorong  masyarakat khususnya Wajib Pajak dalam  kepatuhan kewajiban perpajakannya guna  kegotongroyongan pembangunan nasional menuju bangsa yang sejahtera.

Meningkatkan rasio kepatuhan Wajib Pajak yang tercermin dari pelaporan/penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan tidaklah hanya tugas Direktorat Jenderal Pajak, namun harus menjadi  gerakan nasional dengan pelibatan negara disemua lini, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk kelompok asosiasi seperti REI, KADIN, HIPMI, IPPAT, GAPPINDO, ASTUIN, ASPEKINDO  dll. Dengan kata lain  meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak haruslah secara komprehensif baik dari Direktorat Jenderal Pajak sesuai tupoksinya dengan peningkatan sistim pelayanan , pengawasan dan low enforcemnt perpajakan, juga perlunya keterbukaan dan  profesionalime  penggunaan anggaran pembangunan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang didukung oleh  penegakan hukum yang berkeadilan serta  terciptanya good goverment, termasuk dalam hal ini dukungan  pihak swasta dan masyarakat.

by must itjand

referensi :
1.      www.pajak.go.id
2.       www.hukumonline.com

Komentar

Postingan Populer