MENGHARAP SUKSES TAHUN PEMBINAAN WAJIB PAJAK 2015
Direktorat Jenderal
Pajak pada tahun 2015 mencanangkan
sebagai tahun pembinaan wajib pajak, target pajak tahun 2015 sebesar Rp.
1.294, 25 T secara teoritis sangat sulit dicapai namun realisasi rencana tersebut sangat
diharapkan oleh bangsa Indonesia karena dengan tercapainya target pajak akan
mempermudah pemerintah dalan mewujudkan program pembangunan. Dalam upaya
mencapai target pajak selain
intensifikasi dengan peningkatan konseling/sosialisasi
dan pengawasan - law enforcement oleh aparat pajak, juga dibarengi dengan ekstensifikasi termasuk
perluasan basis pajak. Diharapkan dengan
meningkatkan jumlah wajib pajak juga perluasan pajak seperti pengenaan jasa jl. tol, pengenaan PPh
Psl 22 dan PPN BM hunian mewah dapat menopang pengamanan target penerimaan pajak tahun 2015. Namun demikian tantangan itu juga tidak mudah
karena kebijakan pajak juga tidak boleh
mengganggu iklim investasi yang akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja
(PHK), meningkatkan inflasi dll.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa pajak selain berfungsi
sebagai buggetair yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke
dalam kas negara , juga berfungsi sebagai mengatur atau regulernd sebagai alat untuk
mengatur dalam mencapai tujuan-
tujuan tertentu seperti menjaga pertumbuhan ekonomi. Dan secara teori pada umumnya tidak ada orang yang
suka membayar pajak. Hal ini juga tercermin dalam langkah Ditjen Pajak dalam
pencapaian target penerimaan pajak. Fenomena menarik adalah pengenaan PPN jasa
Jl. tol dimana terdapat potensi pajak Rp. 1,2 Trilliun (kompas.com) dan telah
dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak nomor PER 10/PJ/2015. Penerbitan peraturan
tersebut banyak dikritisi masyarakat seperti
YLKI, menurutnya bahwa pelayanan
jl. tol masih buruk, akan berdampak pada kenaikan logistik dan pengenaan PPN
merupakan kenaikan tarif jl tol secara terselubung (www.tempo.co.id /5 maret
2015). Dalam hal ini sebenarnya tidak ada relefansi pengenaan PPN dengan
pelayanan jl. tol yang buruk, namun itulah cermin bagaimana pajak dikaitkan
dengan pelayanan publik. Presiden Jokowi
dengan mempertimbangan inflasi dan keadaan /timing yang tidak tepat karena
adanya beberapa kenaikan harga barang termasuk kenaikan tarif dasar litrik meminta untuk di undur pelaksanaannya. Akhirnya peraturan tersebut dengan berbagai
pertimbangan diundur pelaksanaannya bahkan akhirnya dicabut/dibatalkan oleh Dirjen Pajak. Sementara kita tahu bahwa pengenaan PPN jasa jl. tol adalah merupakan
amanah UU PPN karena jasa jl tol tidak termasuk dalam daftar negatif list jasa yang tidak dikenakan PPN.
Hal lain adalah dalam rangka intensifikasi dan ektensifikasi ,
salah satu upaya yang diperjuangkan Direktorat Jenderal Pajak adalah bisa mendapatkan data perbankan, karena keterbukaan informasi rekening bank mempermudah Ditjen Pajak dalam memetakan potensi
penerimaan pajak dan meminimalisasi Wajib Pajak yang tidak melaporkan dengan
benar kewajiban perpajakannya. Dengan target penerimaan pajak yang besar sangatlah
dibutuhkan sumber data dari semua pihak termasuk data perbankan. Sesuai UU KUP
Pasal 35A dan Peraturan Pemerintah Nomor
31/2012, Dirjen Pajak telah menerbitkan
PER 01/PJ/2015 tentang Penyerahan Bukti
Potong Pajak atas Bunga Deposito ,
dimana perbankkan wajib untuk menyerahkan data bukti potong
pajak penghasilan (PPh) atas bunga
deposito dan tabungan milik nasabah
secara rinci. Menurut Dirjen Pajak diperkirakan berpotensi
menambah penerimaan pajak sebesar Rp. 16-17 Trilliun (www.katadata.com/16-03-2015).
Peraturan inipun menjadi polemik
dimasyarakat, khususnya dunia perbankan mengingat perbankan terikat dengan
Undang-undang
No 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Dan
pihak perbankan kawatir bila aparat pajak bisa mengetahui
nilai simpanan deposito milik nasabah
dimungkinkan nasabah merasa tidak nyaman dan bisa menarik simpanannya
untuk dipindahkan ke luar negeri. Begitupula OJK menilai bahwa peraturan tersebut menabrak
UU kerahasiaan bank bahwa data nasabah bersifat rahasia kecuali untuk
kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.
Bila menyangkut penyerahan
secara suka rela data perbankan untuk
Direktorat Jenderal Pajak memerlukan diskusi yang panjang, karena kita juga tahu bahwa Perbankan merupakan salah satu pilar
pembangunan ekonomi di Indonesia yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun
dan penyalur dana masyarakat yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No 10
tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam UU tersebut tidak secara eksplisit
mengatur secara tegas tentang kerahasiaan data nasabah oleh perbankan, namun
hubungan bank dengan nasabah diatur
dengan perjanjian antara nasabah dan
pihak bank sehingga timbul kepercayaan nasabah untuk menyimpan dananya baik
berupa giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya. Oleh karena itu pihak
perbankan akan berusaha untuk menjaga kepercayaan nasabahnya dalam perlindungan
konsumennya (nasabah), sehingga
terbentuk rasa saling percaya antara pihak bank dan nasabahnya. Dengan melakukan upaya menjaga keamanan
rahasia bank berarti secara tidak langsung juga menjaga keamanan keuangan
nasabah karena rahasia bank mencakup perlindungan terhadap nasabah dan
simpanan/keuangannya.
Mendapatkan data
nasabah perbankan untuk kepentingan
pajak saat ini mungkin masih jauh
panggang dari api, saat ini masih terbatas yang telah diatur dalam perundangan-undangan, terbatas hanya diberikan untuk kepentingan
pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 87/PMK.03/2013. Oleh karena itu kita memahami bila Perdirjen
Nomor PER-01/PJ/2015 yang mewajibkan pihak perbankan
memberikan data nasabahnya dibatalkan Dirjen Pajak dengan menerbitkan PER-14/PJ/2015.
Harapan kedepan adalah adanya perubahan
UU dan adanya goodwill dari semua pihak
untuk kepentingan negara dari sektor perpajakan, sehingga untuk kepentingan
pajak semua akses data dari pihak manapaun termasuk data nasabah dapat
diberikan kepada otoritas pajak yaitu Direktorat Jenderal Pajak sesuai UU Nomor
6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009
mengenai Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)
Psl. 35A. Hal ini masih ada harapan mengingat Indonesia sebagai anggota
G20 didukung oleh OECD dengan Global Forum on Transparency and Exchange of
Information for Tax Purposes, dimana hasil peer
review yang dilakukan setiap 2 tahun menjelaskan
bahwa akses Ditjen Pajak atas
kerahasiaan perbankan untuk kepentingan pajak
belum sepenuhnya memenuhi standar internasional bahkan tidak lebih baik
dari Singapura dan Hong Kong, sementara
kita tahu bahwa Singapura dan hongkong masuk dalam kategori negara tax haven.
Lengkap sudah upaya-upaya Direktorat
Jenderal Pajak yang tertunda dalam mengamankan target tahun 2015, namun tentunya
kita percaya dengan dedikasi dan potensi Direktorat Jenderal Pajak target
penerimaan pajak tahun 2015 optimis dapat dicapai. upaya optimis pencapaian
target 2015 salah satunya dengan dicanangkannya
tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan motto Reach the Unreachable, Touch the
Untouchable, yang oleh Presiden Joko Widodo diresmikan di Istana
Negara, Rabu, 29 April 2015.
Dengan pembinaan
Wajib Pajak dan diterbitkannya Permenkeu Nomor 91/PMK.03/2015 tentang
Pengurangan atau penghapusan sanksi atas keterlambatan Surat Pemberitahuan ,
pembetulan Surat Pemberitahuan dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran
pajak. Diharapkan akan meningkatkan kesadaran wajib pajak dan meningkatkan
penerimaan pajak. Pihak-pihak
yang akan dibina oleh DJP adalah kelompok orang pribadi atau badan yang belum
terdaftar sebagai Wajib Pajak, kelompok Wajib Pajak terdaftar namun belum
pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), serta kelompok Wajib Pajak
terdaftar yang telah menyampaikan SPT, namun belum sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya.
Namun demikian merefleksi kiat yang
hampir sama pada tahun 2008 dengan adanya sunset policy dimana masa itu diharapkan
dapat mendongkrak menerimaan pajak sebesar 30% dan cukup efektif dalam
penerimaan pajak. Latar belakang sunset policy adalah sesuai amanat UU KUP
semua instansi wajib memberi data kepada Ditjen pajak dan dengan data yang ada
tentunya Ditjen pajak mengetahui ketidak benaran pemenuhan kewajiban
perpajakan, maka untuk menghindari masyarakat dari sangsi perpajakan yang
timbul maka Ditjen pajak memberi kesempatan memperbaikinya. Tahun 2015 mempunyai
misi yang sama namun ketentuannya diatur dalam Permenkeu nomor 91/PMK.03/2015
yang berlaku sejak 4 mei 2015. Menurut Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito
dikutip dari www.katadata.com (16-3-2015) "Sekarang kami menggunakan cara
yang sama, cuman namanya tahun pembinaan wajib pajak.Kami targetkan tumbuh
32%" tuturnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tahun
2015 telah dicanangkan sebagai tahun
pembinaan Wajib Pajak, dimana Wajib Pajak
diberi kesempatan untuk memperbaiki pemenuhan kewajiban perpajakan dan diberikannya
pengurangan/penghapusan sanksi. Tahun 2016 adalah tahun penegakan hukum dan
tahun 2017 tahun rekonsiliasi . Langkah-langkah tersebut mencerminkan Direktorat
Jenderal Pajak sesuai kuasa UU KUP dalam mengamankan penerimaan negara sektor
pajak akan melakukannya secara optimal, namun dengan prinsip good corporate governance untuk
menghindari konflik para pihak, maka tahun 2015 ini masyarakat diberi kesempatan
sekali lagi untuk membetulkan/memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan benar, mengingat dimungkinkan masih kurangnya kesadaran
masyarakat akan kewajiban perpajakan
atau ketidaktahuan dalam aturan-aturan perpajakan, atau juga kekhilafan
wajib pajak. Bila kesempatan itu tidak dimanfaatkan tentunya sesuai yang telah dicanangkan untuk tahun
2016 adalah penegakan hukum maka akan secara langsung atau tidak langsung akan berdampak
pada wajib pajak/masyarakat.
Bercermin tahun 2008 saat itu juga
banyak masyarakat yang masih ragu ragu akan fasilitas yang diberikan sunset
policy, dengan sosialisasi yang gencar dan pemahaman yang diberikan
aparat pajak dengan benar bisa dikatakan
sunset policy tahun 2008 berjakan efektif. Maka keberhasilan pembinaan wajib pajak di
tahun 2015 tidak akan terlepas dengan harus gencarnya sosialisasi dan pemahaman
tentang fasilitas yang didapat Wajib Pajak dengan berlakunya Permenkeu Nomor 91/PMK.3/2015,
karena wajib pajak/masyarakat juga membutuhkan kepastian hukum atas kesalahan
masa lalunya. Efektifitas pembinaan Wajib Pajak tahun 2015 ini kita harapkan
dapat meningkatkan voluntary compliance
dengan keterbukaan masyarakat dalam melaporkan kewajiban perpajakannya secara
benar, dan Wajib Pajak taat terhadap
peraturan perpajakan tanpa harus ada upaya hukum.
Dengan diresmikannya tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan motto Reach the Unreachable, Touch the Untouchable, oleh Presiden Joko Widodo tentunya mengikat semua pihak untuk mensukseskannya, bukan hanya Ditjen Pajak namun semua instansi pemerintah termasuk BUMN/BUMD untuk turut serta menggaungkan tahun pembinaan wajib pajak ini. Diharapkan kesuksesan tahun pembinaan wajib pajak akan berdampak signifikan dalam peningkatan penerimaan pajak, yang secara langsung akan menopang anggaran belanja negara untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan diresmikannya tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan motto Reach the Unreachable, Touch the Untouchable, oleh Presiden Joko Widodo tentunya mengikat semua pihak untuk mensukseskannya, bukan hanya Ditjen Pajak namun semua instansi pemerintah termasuk BUMN/BUMD untuk turut serta menggaungkan tahun pembinaan wajib pajak ini. Diharapkan kesuksesan tahun pembinaan wajib pajak akan berdampak signifikan dalam peningkatan penerimaan pajak, yang secara langsung akan menopang anggaran belanja negara untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
by must itjand
referensi :
1. pajak.go.id
2. finance.detik.com
3. katadata.com
4. bisnis.tempo.co
5. bisniskeuangan.kompas.com
6.
syafiunizar93.blogspot.com/makalah hukum perbankan
Komentar
Posting Komentar