KENISCAYAAN FLEKSIBILITAS ORGANISASI DITJEN PAJAK



Pemerintahan Jokowi-JK akan  memasuki bulan ke 3 di awal tahun 2015, sedikit demi sedikit benang kusut permasalahan dan problema bangsa Indonesia  yang belum terselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya mulai terkuak, ketegasan pemberantasan  ilegal fishing  oleh menteri Kelautan ibu Susi yang  didukung TNI ternyata  perlu tambahan biaya BBM sebesar Rp. 5 Triliun,  Pembongkaran mafia dan tata kelola Migas, negara agraris dengan sumber daya alam melimpah ternyata  masih mengimpor bahan pangan seperti gula, beras, jagung, dll, bahkan negara dengan iklim tropis dan luas lautan serta pantai yang sangat panjang masih mengimpor garam untuk kebutuhan dalam negri. Presiden Joko Widodo juga ingin kualitas pertanian Indonesia meningkat. Salah satu caranya dengan membangun puluhan bendungan dalam lima tahun ke depan. Sebagaimana dilansir Detiknews, "Kami ingin selama lima tahun bangun 30 bendungan. Tapi baru setengah (gubernur yang bicara), semuanya ingin bendungan. Sehingga sekarang akhirnya kita putuskan jadi 49 bendungan," ucap Jokowi, Senin (24/11/2014). Belum pembangunan infrastruktur  lainnya yang sangat mendesak serta  perwujudan janji kampanye presiden Jokowi yang   tentunya semua memerlukan sumberdana yang tidak sedikit, dan salah satu sumberpendanaan pembangunan yang diperhatikan Presiden Jokowi adalah penerimaan negara dari sektor pajak. Disisi yang lain tahun 2015 adalah awal pelaksanaan RPJM ke tiga (2015-2019) dimana dalam RPJM ke tiga  tersebut lebih memfokuskan pada memantabkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang untuk menciptakan daya saing yang lebih kompetitif. 

Menurut  pemerhati ekonomi perpajakan Indonesia dan peneliti pada Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik (detik.com), bahwa  perhatian sang Presiden akan besarnya peran pajak dalam pembangunan  sangat beralasan mengingat APBN 2015 mendatang sekaligus modal kerja perdana Kabinet Kerja Jokowi merupakan APBN terbesar sepanjang sejarah NKRI berdiri. Total uang yang harus dikumpulkan adalah Rp 2.039 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak ditargetkan hampir 70% atau sebesar Rp 1.382 triliun (Sumber: Kemenkeu RI). Jumlah yang tidak kecil dan harus dikumpulkan dengan kerja keras dan dengan menerapkan kebijakan tepat.

Namun  rencana penerimaan pajak sebesar Rp. 1.382 Triliun masih kurang, sebagaimana dikutip Kompas.com (20/11/2014),
 Presiden Joko Widodo meminta agar target pencapaian pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2015 ditingkatkan Rp 600 triliun dari target sebelumnya. Menurut Jokowi, jika dimaksimalkan, Indonesia sebenarnya memiliki tambahan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 1.200 triliun. Data yang diberikan kepada saya, berpotensi kenaikan kira-kira angkanya ada Rp 1.200 triliun dari yang sekarang. Ada potensi sebesar itu, sudah saya sampaikan ke Menkeu," kata Jokowi saat memberikan sambutan pada pertemuan dengan pejabat eselon I dan II Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di Istana Negara.

Sebuah target penerimaan negara sektor pajak yang terbesar sepanjang sejarah karena bila itu teralisasi maka penerimaan negara sektor pajak tahun 2015 yang sebelumnya ditargetkan sebesar + Rp. 1.382 T atau naik  10% dari target APBNP tahun 2014 akan menjadi  Rp. 1.938 T atau  naik  + 57% dari target APBNP tahun 2014.  Sebagaimana diketahui bahwa postur penerimaan sektor pajak  + 85% adalah dari jenis pajak PPh dan PPn yang pengadministraian dan  tatakelola pencapean targetnya oleh Direktorat  Jenderal Pajak sebuah  unit  eselon I dibawah Kementerian  Keuangan.  Dengan target penerimaan  yang begitu besar, maka penguatan Direktorat  Jenderal Pajak  dari segala lini menjadi  keniscayaan  yang harus dilakukan.

Kementerian Keuangan telah membaca kebutuhan tersebut, sebagaimana dilansir katadata.com bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyelesaikan kajian road map Badan Penerimaan Negara (BPN). Ada tiga opsi pembentukan BPN yang disiapkan sebagai optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak. Ketiga opsi tersebut adalah, pertama, membentuk BPN sebagai lembaga atau institusi baru namun tetap bertanggung jawab secara langsung kepada Kemenkeu. Opsi kedua, membentuk BPN sebagai sebuah lembaga baru di luar Kemenkeu, Ketiga, memberikan fleksibilitas Ditjen Pajak untuk melakukan perekrutan pegawai maupun penentuan sistem remunerasi sehingga dapat lebih leluasa mengumpulkan pajak. 

Sebenarnya membuat Direktorat Jenderal Pajak lebih optimal dalam pengumpulan pajak terus di lontarkan Dirjen Pajak sejak lama,  salah satunya sebagaimana  rangkuman wawancara Dirjen Pajak A. Fuad Rahmany dengan majalah tempo (27/2/2014), bahwa selama ini Direktorat Jenderal Pajak dihujani kritik karena rasio pajak terhadap produk domestik bruto tak pernah bergeser dari kisaran 12 persen, dan tingginya tuntutan publik atas kinerja Ditjen Pajak , beliau bilang "Tapi kami dibiarkan tetap kecil," ujarnya. Sebagai contoh  adalah  In­donesia satu-satunya negara yang tidak be­rani membuka rekening bank untuk pajak­nya. Bahkan Amerika Serikat, yang kata­ nya negara paling kapitalistis sedunia, me­nerapkannya.

Masih menurut A. Fuad Rahmany pada wawancara tersebut, saat ini  kapasitas Ditjen Pajak dengan + 32.000 pegawai adalah kapasitas yang sangat kecil bila dibandingkan dengan pegawai pajak negara lain.  Kami bilang ini soal kapasitas kami yang kecil, Kami tak hanya kekurangan tenaga, tapi juga jumlah kantor pajak dan anggar­an. Saat ini pegawai pajak sekitar 32 ribu orang, bandingkan Jerman yang jumlah­nya 110 ribu orang. Padahal penduduknya sepertiga Indonesia. Atau Jepang, pega­wai pajaknya 66 ribu orang. Padahal penduduknya separuhnya Indonesia. Itulah sebabnya, di Pasar Tanah Abang, Jakarta, misalnya, ada 20 ribu toko tapi petugas pa­jak kami cuma tiga dari seharusnya mini­mal 50 pegawai. Jika kapasitas kami besar, ditambah oto­ritas pajak dapat memanfaatkan rekening perbankan, saya perkirakan tax ratio kita bisa menjadi 16-17 persen dari saat ini 12 persen. Tambahan 4 persen itu saja bisa mencapai sekitar Rp 500 triliun. Ini harus dipikirkan oleh siapa pun yang akan men­jadi pemerintah pada masa mendatang. Kalau kami memang disuruh mencari uang banyak, penuhi dong kapasitas kami. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak seper­ti dibiarkan kecil terus. Kami diabaikan dan dilupakan, yang ada hanya dituntut.

Sejalan dengan keinginan optimalisasi pemungutan pajak dan penguatan instansi yang bertugas menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Ulasan  tokoh masyarakat  Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng pada  koran Republika 12 Desember 2014 juga patut disimak, secara ringkas bahwa  menurut beliau terobosan untuk penguatan institusi pajak haruslah menyeluruh, terlebih lagi Presiden Joko Widodo memberikan target yang sulit untuk dicapai jika tidak ada perubahan mendasar terhadap institusi pemungut pajak, yaitu tax ratio 16 persen pada 2019. Best practice di dunia internasional menunjukkan, tidak ada negara yang dapat meningkatkan tax ratio empat persen selama lima tahun tanpa melakukan perubahan radikal. Dan tanpa mengurangi arti penting instansi pemerintah lainnya, bisa dibilang pemicu pembangunan negeri ini dimulai dari Direktorat Jenderal Pajak. Karena hampir 78 persen penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, subsidi untuk masyarakat, dan pembangunan oleh seluruh lembaga negara, seperti infrastruktur hingga biaya institusi penegak hukum, diberikan oleh unit yang hanya setingkat Direktorat Jenderal. Kalau kita teliti, banyak kementerian yang berdiri tanpa amanat UUD 1945. Sedangkan, pajak yang diamanatkan UUD 1945 hanya dilakukan pelaksanaan fungsinya oleh unit setingkat eselon satu. Memang sungguh miris melihat status otoritas pajak saat ini bila dihadapkan kebutuhan pemerintah terhadap pajak serta beban yang ditanggungnya.

Masih menurut Salahudin Wahid , bahwa survei OECD menunjukkan, negara yang memiliki tax ratio di atas 12 persen rata-rata berbentuk badan mandiri di bawah presiden dan memiliki 11 kewenangan yang menjadi prasyarat suatu otoritas perpajakan. Kita semua berkepentingan mengawal agar badan itu kelak tetap netral dan tidak dijadikan alat politik, terutama terkait mekanisme penentuan pimpinan lembaga tersebut. Netralitas Pajak sangat penting agar pajak bisa menciptakan kondisi fair di mata masyarakat. Semua warga negara dijamin hak dan kewajiban perpajakannya dalam UU Perpajakan.  Bahkan, sebenarnya proses mengubah DJP menjadi suatu Badan Penerimaan Pajak tidak akan memakan waktu lama. Kalaupun melambat, bukan diakibatkan kesiapan internal DJP, melainkan lebih karena kesiapan pemerintah dan DPR mengawal perppu atau UU yang akan menaungi lembaga tersebut. Sejak Indonesia merdeka, fungsi dan tugas Ditjen Pajak tidaklah tumpang-tindih dengan instansi lain. Modernisasi birokrasi di DJP sudah berlangsung sejak 2002, sebelum instansi lain melakukan reformasi birokrasi sehingga Badan Penerimaan Negara hanyalah proses berkelanjutan dari rangkaian reformasi birokrasi.

Optimalisasi pemungutan pajak merupakan harapan semua pihak karena dengan optimalnya pemungutan pajak maka secara langsung kepatuhan wajib pajak meningkat, keadilan pajak akan terwujud, yang secara langsung menopang anggaran belanja negara untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Itu semua  tidak akan terlepas dari bagaimana optimalisasi kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam pengembangan organisasi,  dukungan anggaran dan tata kelola SDM  dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan rintangan menghimpun penerimaan negara sektor perpajakan terperhatikan oleh negara, termasuk memberikan harapan dan semangat militansi seluruh pegawai pajak bahwa meraka dalam menghimpun penerimaan pajak tidak berjalan sendirian tetapi negara dan masyarakat juga hadir  mengiringinya.

Dapat disimpulkan bahwa  memperhatikan  fonomena yang terus berkembang belakangan ini, termasuk 3 opsi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) , mau tidak mau suka tidak suka keniscayaan fleksibilitas Direktorat Jenderal Pajak dalam organisasi, anggaran dan SDM guna optimalisasi pemungutan pajak merupakan PR Presiden Jokowi untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat, sehingga program-program beliau berjalan optimal dengan dukungan anggaran yang memadai. Dan  sesuai Undang-undang bahwa, pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang bersifat memaksa dan tidak  mendapat imbalan secara langsung untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

by must itjand

referensi :
1.       http://www.pajak.go.id
2.       http://news.detik.com
5.       http://katadata.co.id/

Komentar

Postingan Populer