MENEGAKKAN TERTIB HUKUM PERPAJAKAN


Melihat  arah kebijakan pemerintah baru Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan visi misi dan  janji kampanye beliau, mau tidak mau suka tidak suka membutuhkan anggaran yang harus memadai. Selain dengan penghematan dan pengalihan anggaran pada sektor sektor produktif termasuk kebijakan berani untuk mengurangi subsidi harga BBM, namun ada sektor yang selama ini menjadi tumpuan APBN yaitu sektor penerimaan pajak dimana hampir menyumbang lebih dari 70% dari total penerimaan negara yang perlu diperhatikan. Dan memang  pajak saat ini menjadi salah satu prioritas perhatian beliau, sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia diberitakan bahwa  Presiden Joko Widodo telah mengeluhkan rendahnya pencapaian penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir. Akibat penerimaan pajak yang tidak pernah mencapai target, pemerintah terpaksa harus mengandalkan investasi swasta untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi negara.

Penerimaan negara dari sektor pajak didominasi  jenis  pajak PPh dan PPN yang memberikan  rata-rata  + 85% dari total penerimaan pajak dan hal ini tatakelolanya sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak . Seperti diketahui bahwa pajak menurut beberapa pakar, antara lain menurut R. Santoso Brotodihadrjo adalah bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutupi belanja pemerintah, yang artinya pajak merupakan suatu pemungutan dari masyarakat yang berguna untuk kepentingan Negara. Sedangkan menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung mengartikan bahwa pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang di pungut oleh badan yang bersifat  umum (Negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang menimbulkan utang pajak. Artinya pajak merupakan iuran yang dipaksakan oleh pemerintah terhadap masyarakat dan tanpa timbal balik, karena berfungsi sebagai penambah penghasilan Negara demi meningkatkan pembangunan suatu Negara. 

Menurut definisi berdasarkan UU  Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009 tentang  Ketentuan Umum Perpajakan , pasal 1 angka 1  bahwa pajak adalah kontribusi kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan  tidak  mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk perluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Jadi pada dasarnya pajak adalah kontribusi kepada negara dan sifatnya memaksa berdasarkan undang-undang. Namun disisi yang lain,  tingkat rasio pajak dibanding PDB atau dikenal dengan istilah tax rasio, Indonesia  masih rendah yaitu + 12% angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang memiliki tax ratio di atas 15%. Sedangkan dalam penelitian IMF pada tahun 2011 disebutkan bahwa dengan aturan perpajakan yang ada saat ini, Indonesia seharusnya memiliki tax ratio sebesar 21,5%. Selain itu juga banyaknya Wajib Pajak yang  menghindari  kewajiban perpajakannya  bahkan  ada yang  mengemplang pajak dan dikenal juga mafia-mafia pajak.  Menilik rendahnya  tax ratio serta banyaknya penghindaran dan pengemplangan pajak, maka secara  sederhana dapat dikatakan bahwa  hukum pajak tidak berjalan optimal.

Kita tahu bahwa perbuatan melawan/melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hak dan kewajiban hukum yang diatur  dalam undang undang, dengan kata lain melanggar hukum adalah melawan undang-undang. Hak dan kewajiban perpajakan telah tertuang dalam Undang Undang  Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009 tentang  Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Penghindaran atau pengingkaran atas kewajiban perpajakan merupakan tindak pidana perpajakan dan semua telah diatur dalam Pasal  38 s.d. Pasal 43A.  

Beberapa tindak pidana perpajakan antara lain dengan sengaja tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar,  tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menerbitkan  dan/atau menggunakan faktur, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menerbitkan faktur tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP.  Pejabat tidak menjaga  kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut  masalah perpajakan kepada pihak lain sesuai Psl. 34 UU KUP, setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan sebagaimana dalam Psl 35 UU KUP, termasuk juga wakil/kuasa, Pegawai Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh, turut melakukan , menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana perpajakan. Secara subtantif pengaturan penghindaran/melawan hukum perpajakan sudah cukup diatur dengan jelas.

Pertanyaannya adalah,  apakah pelaksanaan pasal – pasal tersebut telah berjalan optimal  dalam mewujudkan keadilan pajak bagi masyarakat ? disinilah  peran aparat pajak  dan negara harus hadir demi terciptanya keadilan pajak dan  mengamankan penerimaan negara. Mengutip  berita Antara (http://www.antaranews.com) 29 Agustus 2013, menurut  Guru Besar  Fakultas ekonomi Universitas Indonesia  Prijono Tjiptoherijanto, mengejar kepatuhan pajak  dengan  mengancam wajib pajak dengan demonstrasi penegakan hukum perpajakan bisa menjadi instrumen ampuh dalam menciptakan efek jera kepada pelanggar pajak agar bisa menjamin penerimaan pajak nasional kita. Tetapi langkah itu, pada banyak bagian juga memiliki kelemahan.  Menurut dia, jika orang dipaksa-paksa, maka hasilnya bagi sistem menjadi tidak sustain (berkelanjutan). "Yang penting harus ada kemauan dari dalam. Advokasi-advokasi justru yang harus digencarkan untuk mengajak wajib pajak taat untuk kemudian bisa mengamankan penerimaan pajak," kata Prijono.



Perpajakan selalu menjadi  dilema  selain pengetahuan perpajakan masyarakat masih rendah sedang sistim saat ini adalah self assessment yaitu memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak, mengakibatkan menjamurnya konsultan-konsultan gelap yang memanfaatkan ketidaktahuan Wajib Pajak. Dilain pihak,   pada umumnya  secara teori tidak ada orang yang  mau membayar pajak,  maka apa bila ada tawaran/dorongan membayar lebih kecil atau menghindar tentu akan dilakukan. Untuk itulah advokasi dan penyuluhan memang harus terus digencarkan, namun untuk para pengemplang pajak dan  mafia pajak yang nyata-nyata terus menggeroti  penerimaan negara, hukum tetap harus ditegak, untuk itulah aparat pajak harus di dukung oleh penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan, KPK, dan  Polri. Mengingat UU Pajak bersifat khusus (lex specialis) dan  resiko serta godaan  yang dihadapi aparat pajak dalam menerapkan hukum perpajakan  cukup tinggi, karena penerapan perpajakan akan berimbas pada  pundi pundi dan lingkaran keuangan Wajib Pajak. Harapan kedepan adalah  tidak ada lagi kriminalisasi aparat pajak dalam pelaksanaan menegakkan undang-undang perpajakan,  seperti kasus tuduhan perbuatan tidak menyenangkan,   dll  oleh  sebuah Perusahaan Property  di Jambi yang sedang dilakukan pemeriksaan/penyelidikan oleh aparat pajak, dan langsung di tindaklanjuti pihak kepolisian dengan menetapkan pegawai pajak menjadi tersangka.

Sudah saatnya  bangsa Indonesia tertib hukum pajak  untuk sejajar dengan negara-negara lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Australia, Japan, Amerika dll.

by must itjand

 
Referensi :
2.        2. http://www.pajak.go.id
3.        3. http://tesishukum.com
7.        7. http://katadata.co.id/berita/2014/06/10/polda-jambi-dinilai-kriminalisasi-aparat-pajak

 

Komentar

Postingan Populer